Rabu, 02 April 2014

Politik Devide et Imper

Dalam Wikipedia, devide et impera merupakan politik pecah belah atau disebut juga dengan adu domba adalah kombinasi strategi politik, militer, dan ekonomi yang bertujuan mendapatkan dan menjaga kekuasaan dengan cara memecah kelompok besar menjadi kelompok-kelompok kecil yang lebih mudah ditaklukan. Dalam konteks lain (dalam Wikipedia), devide et impera juga berarti mencegah kelompok-kelompok kecil untuk bersatu menjadi sebuah kelompok besar yang lebih kuat.
          Aplikasi politik devide et impera antara lain, menyelenggerakan jenjang pendidikan yang terkotak-kotakkan. Kelompok bangsawan diarahkan pada sekolah "unggulan", seperti Europeesche Lagere School (ELS), Hollandsch Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Mulo atau Hogere Burgerschool (HBS). Di tingkat pendidikan tinggi, Belanda mendirikan sekolah dokter untuk pemuda Jawa, yaitu School tot Opleiding van Indische Artsen (STOVIA). Para bangsawan mendapatkan bahasa pengantar bahasa Belanda. Penguasaan bahasa tersebut seolah membawanya pada tataran yang tinggi. Sampai saat ini masih banyak kaum tua yang "membanggakan" kemampuannya menguasai Hollandsche sprechen tersebut. Belanda berhasil mengkotak-kotakkan warga bumi jajahannya. Hanya segelintir saja di antara mereka yang mau membagikan ilmu kepada sesama manusia, bahkan perempuan di negeri ini pada saat itu. Dunia edukasi mengalami masa-masa kelam.
          Rupanya, kaum kolonial tidak begitu saja meninggalkan negeri jajahannya selama 350 tahun. Jejak "perbuatannya" dalam aplikasi devide et impera tersebut tidak lantas hilang dari wajah bumi ini. Sampai beratus generasi kemudian, devide et impera masih terpelihara. Hingga saat ini penggolongan kelas sosial masih berlaku di kalangan masyarakat kita. Dunia edukasi di negeri ini juga tidak luput dari cengkeraman bayangan politik devide et impera. Kehadiran berbagai jenis jenjang edukasi, seperti sekolah unggulan, sekolah plus, sekolah bertaraf Internasional, atau rintisan sekolah bertaraf nasional, cukup menjadi bukti kuatnya pengaruh politik devide et impera dalam dunia edukasi.
Kemerdekaan menyisakan sejarah panjang perjuangan, tetapi sisa-sisa peradaban abad kolonial seolah masih terpelihara. Aspek-aspek maerial menjadi landasan utama dasar pengkotak-kotakkan masyarakat di bidang edukasi pada era modern. Yang paling banyak berperan dalam hal ini adalah orang tua siswa. Pilihan untuk belajar ke pusat-pusat pengkotakkan tersebut lebih merupakan ambisi orang tua. Kebanyakan anak bak kerbau di cocok hidung. Terkadang anak yang biasa-biasa pun terseok-seok mengikuti arus ambisi kedua orangtuanya. Perdebatan antara pihak pro-kontra dibiarkan berlarut-larut tanpa perdebatan. Begitu panjangnya sejarah devide et impera, sampai akhirnya satu titik-terang terkuak ke permukaan ketika pada akhirnya putusan MK mengubah segalanya. Satu noktah devide et impera menemui ajalnya. Namun, meskipun sudah diakhiri, disadari atau tidak, tidak mudah bagi pihak-pihak yang sangat memuja devide et impera untuk melepaskan hal itu. Meninggalkan zona aman memang buan perkara yang mudah.
          Tawuran antarwarga kebanyakan atau pertikaian antarpetinggi dan selebritis menjadi wujud kegagalan dunia perpolitikan di negeri ini. Reformasi menjadi titik awal kehadiran pengkotak-kotakkan masyarakat yang memang sejak lama tidak mampu mengenyahkan bayang devide et impera "bawaan" era kolonialisme. Arena pemilihan menjadi lahan empuk untuk menjaring simpati massa pendukung. Lihatlah perilaku kandidat penguasa yang pada awalnya dikonstruksi untuk bertindak so manis dan berlagak bak peragawati yang mencari perhatian. Pada momen inilah masyarakat kembali terkotak-kotakkan: menjadi simpatisan fanatik yang percaya sepenuh hati kepada kandidat penguasa, bersikap antipati atau mengukuhkan diri untuk menjauh dari kehidupan sarat partai, dan bersikap antipati tetapi terpaksa memihak salah satu kandidat agar kandidat lain yang dianggap "bahaya" tertahan perolehan suaranya.
Kisruh wajah politik di negeri ini terungkap dalam sebuah puisi fenomenal yang pemuatannya sempat menuai kontroversi. Puisi yang ditulis dan dimuat pada sebuah harian terbitan tahun 2007 tersebut berjudul "Malaikat". Sesaat setelah pemuatan puisi tersebut, banyak pihak yang merasa kebakaran jenggot dan memaknai karya sastrawan Saeful Badar itu dengan pemaknaan yang sangat dangkal. Pembatalan atas pemuatan puisi itu tidak dapat dihindari. Sang penyair ditekankan untuk menulis permohonan maaf di media bersangkutan. Sang editor mendapatkan surat pencopotan dalam tempo singkat. Pihak-pihak yang merasa tersinggung alpa tentang sifat puisi. Puisi tidak dapat dimaknai pada tataran kulitnya saja. Ia memiliki sifat khas lain yang terkadang tidak mampu ditembus awam, yaitu pemaknaan berbingkai. Semakin dalam di telusuri semakin banyak lapisan makna yang harus dikuak. Puisi "Malaikat" berbicara tentang perilaku politisi yang mementingkan kepentingan sendiri dan sangat tidak peduli kepada rakyatnya. Rakyat ditipu dengan rasa manis yang ia gulirkan untuk menjaring dukungan. Namun, ketika sudah menduduki singgasana, ia alpa untuk menunaikan janji-janji berbalut lapisan gula itu. Sebenarnya, puisi itu berbicara apa adanya tentang kondisi politik di negeri ini dan perilaku para politisi yang sebenarnya tidak mumpuni menjadi politisi. Puisi itu berbunyi: Mentang-mentang punya sayap/Malaikat begitu nyinyir dan cerewet/Ia berlagak sebagai makhluk baik / Tapi juga galak dan usil /Ia meniup-niupkan wahyu /Dan maut /Ke saban penjuru (2007). Isi puisi itu dapat diaplikasikan pada kondisi dan situasi politik saat ini. Beberapa kasus besar cukup menjadi bukti atas krisis kepemimpinan dan kesalahpenempatan orang itu.
Muhammad saw sejak beratus tahun lalu sudah memprediksi kehancuran sebuah negeri karena aspek salah tempat tersebut. Dalam sebuah hadist beliau bersabda bahwa pemimpin itu adalah perisai memerangi musuh rakyatnya dan melindungi mereka. Jika pemimpin itu mengajak rakyatnya kepada ketaqwaan kepada Allah dan bersikap adil maka pemimpin itu bermanfaat bagi rakyat, tetapi jika dia memerintahkan selain itu maka pemimpin itu merupakan musibah bagi rakyatnya (HR. Muslim). Negeri bertitel zamrud khatulistiwa tersebut kini kehilangan keindahannya karena kisruh politis yang terjadi. Terlebih kini dengan seringnya negeri ini dilanda musibah beruntun. Apakah musibah itu juga diakibatkan ketidakadilan pemimpin yang salah tempat?


Oleh : RESTI NURFAIDAH
Staf Balai Bahasa Jawa Barat

Harian Galamedia, Senin, 4 Februari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar