Terkuaknya kasus suap
yang menjeret Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi titik balik
kepercayaan publik. Sebelum kasus suap terbongkar, kepercayaan publik begitu
besar. Namun, kepercayaan tersebut runtuh ketika Akil Mochtar ditangkap.
Mengembalikan kepercayaan publik adalah ujian terberat bagi lembaga ini.
Bagaimanapun kepercayaan publiklah yang selama ini menjadi penopang
lembaga-lembaga negara agar bisa bekerja dengan baik. Sejumlah hasil jajak
pendapat Kompas merekam, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan
Korupsi (KPK) merupakan lembaga hukum yang citranya relatif terjaga baik di
mata publik.
Pada Juni 2012,
misalnya separuh lebih responden (56,8 persen) menilai citra lembaga ini baik.
Citra positif tersebut tidak lepas dari sejumlah putusan MK yang dipandang
sebagai terobosan. Sebut saja soal putusan terkait pekerja ahli daya dan
pekerja tetap perusahaan pemberi kerja yang menurut MK berhak atas manfaat yang
adil tanpa diskriminasi (Kompas, 18/1/2012).
Namun, hasil jajak
pendapat Kompas seminggu setelah penangkapan Akil Mochtar memperlihatkan angka
yang anjlok drastis dibandingkan dengan jajak pendapat sebelumnya. Hasil sigit
tersebut mencatat hanya 8,8 persen responden yang masih memberi nilai positif
terhadap citra MK. Anjolknya citra MK menjadi potret betapa tergerusnya
kepercayaan publik terhadap penjaga konstitusi. Untungnya, langkah MK cukup
sigap dan cepat dalam mengendalikan lembaganya. Pembentukan Majelis Kehormatan
MK yang salah satunya menghasilkan rekomendasi pemberhentian tidak hormat
kepada Akil Mochtar patut diapresiasi. Setidaknya hal ini berpengaruh pada
persepsi publik.
Hasil jajak pendapat
Kompas pada pertengahan Desember lalu menunjukan peningkatan apresiasi publik.
Sebanyak 27,2 persen responden menilai citra MK baik. Meskipun deikian, angka
ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan apresiasi publik sebelum kasus
suap yang menjerat Akil Mochtar. Bahkan, pergantian kepemimpinan di tubuh MK
dengan terpilihnya Hamdan Zoelva dan Arif Hidayat sebagai pasangan ketua dan
wakil ketua MK belum mampu menjamin pemulihan kepercayaan publik pada lembaga
ini. Hasil survei Kompas mencatat, pendapat publik terbelah atas kondisi
kepemiminan baru MK tersebut. Sebanyak 47,7 persen responden tidak yakin
kepemimpinan Hamdan Zoelva berhasil mengembalikan kewibawaan MK, dan 40,1
persen responden menyatakan sebaliknya.
Kasus Pilkada
Publik juga memberi
penilaian atas kinerja MK menangani kasus-kasus sengketa pemilu kepala daerah
(pilkada). Sikap publik terbelah. Sebanyak 47,4 persen responden tidak yakin MK
di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva akan mampu memutus kasus sengketa pilkada
lebih baik dibandingkan sebelumnya. Terungkapnya kasus suap yang menjerat Akil
Mochtar sedikit banyak mempengaruhi persepsi publik tersebut. Akil Mochtar yang
mantan anggota Partai Golkar, terkait sengketa pilkada yang juga menyeret
politisi Partai Golkar, Chairun Nisa, yang turut ditangkap KPK. Terpilihnya
Hamdan Zoelva yang notabene mantan politisi Partai Bulang Bintang juga
memunculkan kekhawatiran publik terhadap independensi MK. Publik ragu
kepemimpinan Hamdan akan menjamin netralitas putusan MK, terutama terkait
dengan kepentingan partai politiknya.
Meskipun demikian,
publik tidak sampai beranggapan perlunya penghapusan kewenangan MK dalam
memutus sengketa pilkada. Seluruh lebih responden (53,6 persen) masih melihat
MK sebagai lembaga peradilan yang dipercaya untuk mengadili sengketa pemilu dan
pilkada. Perkara perselisihan hasil pilkada menempati jumlah terbanyak kedua
setelah jumlah pengajuan undang-undang. Sejak MK dibentuk (2003), jumlah perara
uji materi UU mencapai 807 perkara yang masuk. Sementara itu perkara
perselisihan pilkada, sejak tahun 2008 sampai akhir 2013, tercatat 638 perkara.
Dari jumlah itu, 608 di antaranya diterima disidangkan. Sebanyak 388 putusannya
ditolak dan hanya 64 gugatan yang dikabulkan.
Dari data itu tampak
bahwa hanya 10 persen perkara perselisihan pilkada yang dikabulkan gugatannya.
Artinya, tidak banyak perselisihan pilkada yang berakhir dengan pemungutan
suara ulang atau pembatalan keputusan KPUD terkait hasil pilkada. Meskipun
demikian, kasus terkuaknya suap yang menyeret Akil Mochtar semakin meneguh kan
pilkada menjadi “jebakan” bagi independensi MK. Buntut dari runtuhnya
kepercayaan publik terhadap MK adalah terjadinya tindakan anarkis diruang
sidang MK saat menggelar sidang putusan perkara perselisihan hasil pilkada
Provinsi Maluku, 14 november 2013. Kasus anarkis yang pertama kali terjadi di
persidangan MK ini menjadi peringatan bahwa lembaga ini sedang diuji.
Ujian MK
Namun, jika kita ikuti
rekam jejak MK, lembaga ini telah beberapa kali diuji. Pemilu 2009 jadi ujian
pertama. Pada pertengahan Febuari 2010, publik dihebohkan oleh kasus pemalsuan
surat MK terkait putusan hasil perolehan suara Partai Hanura di Daerah Pemilihan
(Dapil) Sulsel 1. Hal ini berdampak pada perebutan kursi DPR dari dapil itu. MK
pun tidak luput dari tuduhan Nazaruddin, terpidana kasus korupsi proyek wisma
atlet, pada Mei 2011 Ketua MK saat itu, Mahfud MD, mengungkapkan soal pemberian
uang senilai 120.000 dollar AS oleh Nazaruddin kepada salah seorang petinggi
MK. Terakhir putusan PTUN Jakarta juga membatalkan keputusan presiden soal
pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai hakim konstitusi. Kondisi
ini bisa berdampak pada penyelesaian sengketa pemilu. Sebagai lembaga yang
berwenang menyelesaikan sengketa pemilu, soliditas, independensi, dan
kewibawaan MK menjadi sebuah keniscayaan. Inilah ujian terberat bagi sang
penjaga konstitusi.
Oleh : Yohan Wahyu
Litbang Kompas