Rabu, 02 April 2014

Ujian Penjaga Konstitusi

Terkuaknya kasus suap yang menjeret Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar menjadi titik balik kepercayaan publik. Sebelum kasus suap terbongkar, kepercayaan publik begitu besar. Namun, kepercayaan tersebut runtuh ketika Akil Mochtar ditangkap. Mengembalikan kepercayaan publik adalah ujian terberat bagi lembaga ini. Bagaimanapun kepercayaan publiklah yang selama ini menjadi penopang lembaga-lembaga negara agar bisa bekerja dengan baik. Sejumlah hasil jajak pendapat Kompas merekam, Mahkamah Konstitusi (MK) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) merupakan lembaga hukum yang citranya relatif terjaga baik di mata publik.
Pada Juni 2012, misalnya separuh lebih responden (56,8 persen) menilai citra lembaga ini baik. Citra positif tersebut tidak lepas dari sejumlah putusan MK yang dipandang sebagai terobosan. Sebut saja soal putusan terkait pekerja ahli daya dan pekerja tetap perusahaan pemberi kerja yang menurut MK berhak atas manfaat yang adil tanpa diskriminasi (Kompas, 18/1/2012).
Namun, hasil jajak pendapat Kompas seminggu setelah penangkapan Akil Mochtar memperlihatkan angka yang anjlok drastis dibandingkan dengan jajak pendapat sebelumnya. Hasil sigit tersebut mencatat hanya 8,8 persen responden yang masih memberi nilai positif terhadap citra MK. Anjolknya citra MK menjadi potret betapa tergerusnya kepercayaan publik terhadap penjaga konstitusi. Untungnya, langkah MK cukup sigap dan cepat dalam mengendalikan lembaganya. Pembentukan Majelis Kehormatan MK yang salah satunya menghasilkan rekomendasi pemberhentian tidak hormat kepada Akil Mochtar patut diapresiasi. Setidaknya hal ini berpengaruh pada persepsi publik.
Hasil jajak pendapat Kompas pada pertengahan Desember lalu menunjukan peningkatan apresiasi publik. Sebanyak 27,2 persen responden menilai citra MK baik. Meskipun deikian, angka ini masih sangat rendah jika dibandingkan dengan apresiasi publik sebelum kasus suap yang menjerat Akil Mochtar. Bahkan, pergantian kepemimpinan di tubuh MK dengan terpilihnya Hamdan Zoelva dan Arif Hidayat sebagai pasangan ketua dan wakil ketua MK belum mampu menjamin pemulihan kepercayaan publik pada lembaga ini. Hasil survei Kompas mencatat, pendapat publik terbelah atas kondisi kepemiminan baru MK tersebut. Sebanyak 47,7 persen responden tidak yakin kepemimpinan Hamdan Zoelva berhasil mengembalikan kewibawaan MK, dan 40,1 persen responden menyatakan sebaliknya.

Kasus Pilkada

Publik juga memberi penilaian atas kinerja MK menangani kasus-kasus sengketa pemilu kepala daerah (pilkada). Sikap publik terbelah. Sebanyak 47,4 persen responden tidak yakin MK di bawah kepemimpinan Hamdan Zoelva akan mampu memutus kasus sengketa pilkada lebih baik dibandingkan sebelumnya. Terungkapnya kasus suap yang menjerat Akil Mochtar sedikit banyak mempengaruhi persepsi publik tersebut. Akil Mochtar yang mantan anggota Partai Golkar, terkait sengketa pilkada yang juga menyeret politisi Partai Golkar, Chairun Nisa, yang turut ditangkap KPK. Terpilihnya Hamdan Zoelva yang notabene mantan politisi Partai Bulang Bintang juga memunculkan kekhawatiran publik terhadap independensi MK. Publik ragu kepemimpinan Hamdan akan menjamin netralitas putusan MK, terutama terkait dengan kepentingan partai politiknya.
Meskipun demikian, publik tidak sampai beranggapan perlunya penghapusan kewenangan MK dalam memutus sengketa pilkada. Seluruh lebih responden (53,6 persen) masih melihat MK sebagai lembaga peradilan yang dipercaya untuk mengadili sengketa pemilu dan pilkada. Perkara perselisihan hasil pilkada menempati jumlah terbanyak kedua setelah jumlah pengajuan undang-undang. Sejak MK dibentuk (2003), jumlah perara uji materi UU mencapai 807 perkara yang masuk. Sementara itu perkara perselisihan pilkada, sejak tahun 2008 sampai akhir 2013, tercatat 638 perkara. Dari jumlah itu, 608 di antaranya diterima disidangkan. Sebanyak 388 putusannya ditolak dan hanya 64 gugatan yang dikabulkan.
Dari data itu tampak bahwa hanya 10 persen perkara perselisihan pilkada yang dikabulkan gugatannya. Artinya, tidak banyak perselisihan pilkada yang berakhir dengan pemungutan suara ulang atau pembatalan keputusan KPUD terkait hasil pilkada. Meskipun demikian, kasus terkuaknya suap yang menyeret Akil Mochtar semakin meneguh kan pilkada menjadi “jebakan” bagi independensi MK. Buntut dari runtuhnya kepercayaan publik terhadap MK adalah terjadinya tindakan anarkis diruang sidang MK saat menggelar sidang putusan perkara perselisihan hasil pilkada Provinsi Maluku, 14 november 2013. Kasus anarkis yang pertama kali terjadi di persidangan MK ini menjadi peringatan bahwa lembaga ini sedang diuji.

Ujian MK

Namun, jika kita ikuti rekam jejak MK, lembaga ini telah beberapa kali diuji. Pemilu 2009 jadi ujian pertama. Pada pertengahan Febuari 2010, publik dihebohkan oleh kasus pemalsuan surat MK terkait putusan hasil perolehan suara Partai Hanura di Daerah Pemilihan (Dapil) Sulsel 1. Hal ini berdampak pada perebutan kursi DPR dari dapil itu. MK pun tidak luput dari tuduhan Nazaruddin, terpidana kasus korupsi proyek wisma atlet, pada Mei 2011 Ketua MK saat itu, Mahfud MD, mengungkapkan soal pemberian uang senilai 120.000 dollar AS oleh Nazaruddin kepada salah seorang petinggi MK. Terakhir putusan PTUN Jakarta juga membatalkan keputusan presiden soal pengangkatan Patrialis Akbar dan Maria Farida sebagai hakim konstitusi. Kondisi ini bisa berdampak pada penyelesaian sengketa pemilu. Sebagai lembaga yang berwenang menyelesaikan sengketa pemilu, soliditas, independensi, dan kewibawaan MK menjadi sebuah keniscayaan. Inilah ujian terberat bagi sang penjaga konstitusi.

Oleh : Yohan Wahyu
Litbang Kompas

Kompas, jumat, 10 Januari 2014

Tidak ada komentar:

Posting Komentar